Mengatasi Kecemasan Keterikatan: 9 Kebiasaan dalam Percakapan yang Perlu Diubah

Jendela Magazine – Semua orang membutuhkan koneksi, bukan? Tapi bagi seseorang dengan kecemasan keterikatan, percakapan bisa terasa seperti daerah berbahaya secara emosional. Obrolan sederhana sering kali berubah menjadi momen yang tegang karena ada ketakutan akan ditolak, dipahami salah, atau ditinggalkan.

Dalam psikologi, pola-pola ini sering muncul dari masa kanak-kanak, ketika kebutuhan emosional tidak terpenuhi secara konsisten.
Di masa dewasa, pola itu pun muncul kembali dalam komunikasi, bahkan tanpa disadari.

Berita baiknya: mengenali kebiasaan ini adalah langkah pertama untuk membebaskan diri.
Dilansir dari VegOut, berikut sembilan hal yang sering dilakukan oleh orang dengan kecemasan keterikatan dalam percakapan, beserta cara untuk memperbaikinya.

1. Terlalu Banyak Menganalisis Respons Orang Lain

Setelah ngobrol, pikiran mulai berputar: “Tadi aku salah ngomong, ya?” atau “Dia marah, atau tidak, sih?” Orang dengan kecemasan keterikatan cenderung mengulang-ulang percakapan berkali-kali. Hal ini bisa melelahkan dan membuat kita melewatkan momen saat ini.

Dr. Sue Johnson pernah berkata, “Kebutuhan akan koneksi sudah tertanam. Saat ikatan terasa terancam, kita sering berpikir berlebihan untuk memulihkan kendali.”

Kalau kamu mulai tenggelam dalam analisis, coba tanyakan: “Apa buktinya kalau mereka benar-benar marah?” Sering kali, tidak ada bukti sama sekali.

2. Sering Mencari Kepastian

Pertanyaan seperti, “Apa menurutmu aku bikin dia kesal?” atau “Kata-kataku tadi oke, tidak?” mungkin terdengar biasa, tapi kalau terlalu sering muncul, bisa membuat lawan bicara merasa lelah secara emosional.

Mencari kepastian itu wajar, tapi terus-menerus menekan orang lain untuk menenangkanmu bisa membuat hubungan tidak seimbang.

Lebih baik, beri tahu kebutuhanmu dengan jelas, lalu percaya itu sudah cukup.

3. Bicara Terus-Menerus Saat Gugup

Untuk sebagian orang, keheningan itu damai.
Tapi bagi orang dengan kecemasan keterikatan, keheningan bisa terasa seperti penolakan yang halus. Akibatnya, setiap jeda diisi dengan obrolan tanpa henti yang justru membuat orang lain kewalahan.

Faktanya, jeda bukanlah musuh.
Biarkan keheningan datang. Kebanyakan orang hanya membutuhkan waktu sejenak untuk berpikir, bukan berarti mereka tidak tertarik.

4. Membaca Bahasa Tubuh Secara Berlebihan

Tangan disilangkan?
Tatapan menghindar? Orang dengan kecemasan keterikatan mungkin membaca terlalu banyak dari isyarat yang sebenarnya netral. Masalahnya, sinyal ini sering diterjemahkan melalui lensa ketakutan.

Menurut terapis Lindsay Gibson, “Orang yang cemas sensitif terhadap isyarat halus, tapi sering salah menafsirkannya.”

Sebelum menyimpulkan, ambil jeda dan tanyakan: “Ada kemungkinan lain, tidak?” Mungkin mereka hanya lelah, dan itu bukan tentangmu.

5. Meminta Maaf Terus-Menerus

Kalimat seperti “Maaf ya, sudah ganggu…” kerap diucapkan secara otomatis oleh orang yang takut dianggap sebagai beban.
Tapi permintaan maaf yang terlalu sering membuat suasana jadi canggung dan membuatmu tampak kurang percaya diri.

Alih-alih meminta maaf, ubah pendekatannya.
Contoh: “Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mendengar ini.” Nada yang lebih positif akan membentuk hubungan yang lebih sehat.

6. Menjelaskan Diri Secara Berlebihan

Terkadang, seseorang dengan kecemasan keterikatan merasa harus menjelaskan segalanya, takut disalahpahami.
Padahal, kalimat sederhana seperti “Aku tidak bisa datang” sudah cukup tanpa harus menjelaskan selama tiga menit.

Penjelasan yang terlalu panjang bisa membuatmu terdengar ragu atau defensif.
Cobalah berbicara lebih singkat dan langsung. Semakin jelas, semakin terlihat percaya diri.

7. Terlalu Menyesuaikan Diri agar Disukai

Menyamakan nada suara atau pendapat bisa membangun kedekatan, tapi kalau dilakukan berlebihan, kamu bisa kehilangan jati diri.
Setuju hanya untuk menghindari konflik bukanlah solusi, itu hanya memperburuk masalah.

Hubungan yang sehat dimulai dari keaslian.
Berani berbeda pendapat justru menunjukkan keberanian untuk hadir sebagai diri sendiri.

8. Terlalu Sibuk Mengkhawatirkan Pandangan Orang Lain

Pertanyaan seperti, “Apakah aku cukup disukai?” sering mengisi kepala sampai percakapan berubah jadi ujian performa. Hasilnya, fokus tidak pada koneksi, melainkan pada “penampilan.”

Solusinya?
Alihkan perhatian dari diri sendiri ke orang lain. Tunjukkan rasa ingin tahu. Ajukan pertanyaan yang bermakna. Ketika kamu hadir sepenuhnya dalam percakapan, interaksi akan terasa jauh lebih alami.

9. Menghindari Mengungkapkan Kebutuhan Secara Langsung

Takut dianggap “terlalu banyak maunya” membuat banyak orang memilih memberi isyarat daripada berbicara langsung.
Sayangnya, berharap orang lain bisa membaca pikiran hampir selalu berujung pada kekecewaan.

Komunikasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk jujur.
Coba mulai dari hal kecil: ceritakan apa yang kamu butuhkan secara jelas. Kamu mungkin akan terkejut ketika banyak orang justru menghargai kejelasan.

Kecemasan keterikatan bukanlah label yang mengunci, melainkan petunjuk arah.
Dengan kesadaran, kebiasaan lama bisa berubah. Komunikasi pun jadi lebih jujur, lebih ringan, dan yang paling penting: lebih terhubung.

Kamu tidak perlu sempurna dalam setiap percakapan.
Cukup hadir sebagai dirimu sendiri, dan biarkan koneksi tumbuh dari sana.

BACA LAINNYA