Pemerintah Dinilai Abai, Mahfud Md: Wamen Komisaris BUMN Ancaman Konstitusi
JendelaMagazine.com, Jakarta – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md. menyatakan bahwa Wakil Menteri (Wamen) yang merangkap sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia juga memperingatkan bahwa praktik tersebut berpotensi memicu tindak pidana korupsi.
Mahfud mengkritik keras pemerintah yang dinilai mengabaikan keputusan MK. Ia menegaskan bahwa putusan lembaga yudikatif tersebut bersifat final dan mengikat secara hukum. Menurutnya, MK telah secara tegas melarang Wamen menduduki posisi komisaris karena jabatan tersebut termasuk dalam ranah politik, bukan karier profesional.
“MK sudah jelas menyatakan bahwa apa yang dilarang bagi menteri, berlaku juga bagi wakil menteri,” tegas Mahfud dalam wawancara eksklusif dengan Hendri Satrio, pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, yang tayang di kanal YouTube Hendri Satrio Official pada 26 Juli 2025. Wawancara tersebut telah mendapatkan izin untuk dikutip oleh Tempo.
Konflik Kepentingan dan Potensi Korupsi
Mahfud menyoroti adanya konflik kepentingan yang serius, terutama ketika pejabat dari instansi seperti Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjabat di BUMN melalui Danantara—sebuah entitas yang seharusnya diawasi secara independen.
“Ini jelas upaya memperkaya diri sendiri. Mereka tahu itu dilarang, tapi tetap mengambil gaji dari sana. Sementara pihak yang mengangkat mereka juga ikut terlibat dalam praktik merugikan keuangan negara,” ujar Mahfud.
Hendri Satrio kemudian menanyakan apakah rangkap jabatan Wamen sebagai komisaris mengandung unsur korupsi. Mahfud menegaskan bahwa hal itu dapat dikategorikan sebagai pengayaan diri secara tidak sah. Bahkan, berdasarkan Pasal 55 KUHP, siapa pun yang terlibat dalam pengangkatan tersebut dapat dipidana karena turut serta dalam tindak pidana korupsi.
*”Dalam hukum pidana, ada konsep tindak pidana bersamaan. Jika terbukti secara sah dan meyakinkan, semua pihak yang terlibat bisa dikenakan pasal korupsi. Jangan beralasan bahwa ini hanya pendapat MK, bukan amar putusan. Pendapat MK itu adalah hukum, karena termasuk dalam *memori van toelichting,” jelasnya.
Bom Waktu bagi Pemerintah
Ketika ditanya apakah putusan MK akan benar-benar ditegakkan, Mahfud pesimistis. “Dari gelagat politiknya, sepertinya akan diabaikan. Tapi ini seperti bom waktu yang suatu saat bisa meledak,” ucapnya.
Ia memperingatkan bahwa pengabaian terhadap putusan MK akan menormalisasi pelanggaran hukum, merusak tata kelola konstitusional, dan menggerus kepercayaan publik. Lebih jauh, hal ini dapat membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih masif di masa depan.
“Hukum adalah produk politik. Jika pemerintah tetap abai, ya akan terus seperti ini. Tapi jika ada niat baik, seharusnya pengangkatan Wamen sebagai komisaris dihentikan,” tegas Mahfud.
Risiko Politik dan Solusi Alternatif
Mahfud juga mengingatkan risiko politik jika praktik ini terus berlanjut. “Bayangkan jika nanti jumlah Wamen membengkak jadi 200 orang, dan semua diberi jabatan komisaris. Itu sangat berbahaya,” katanya.
Ia mendorong pemerintah mencari solusi alternatif tanpa melanggar putusan MK. Misalnya, dengan memperkuat regulasi teknis melalui koordinasi dengan KPK, meskipun kerap terhambat dinamika politik.
Fakta Terkini: 30 Wamen Masih Merangkap Jabatan
Berdasarkan data terakhir, terdapat 30 Wamen aktif yang masih menjabat sebagai komisaris atau komisaris utama di berbagai BUMN. Polemik ini semakin panas setelah MK menolak gugatan uji materi UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara pada 17 Juli 2025.
Dua permohonan judicial review—Perkara No. 21/PUU-XXIII/2025 (diajukan Juhaidy Rizaldy Roringkon) dan No. 35/PUU-XXIII/2025 (diajukan Vito Jordan Ompusunggu dkk.)—ditolak MK. Meski demikian, dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan berlaku baik untuk menteri maupun wakil menteri.
Aco Hatta Kainang, Direktur Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU), menjelaskan bahwa putusan MK mengandung ratio decidendi (pertimbangan hukum yang mengikat), sehingga pemerintah tidak bisa berdalih bahwa hal tersebut bukan bagian dari amar putusan.
“Ini bukan sekadar pendapat, melainkan kewajiban hukum yang harus ditaati,” tegas Aco.
Kontributor: Alif Ilham Fajriadi, Aliy Arivin, Daniel Ahmad Fajri