Kebijakan Kontroversial: Pemerintah Kurangi Luas Rumah Subsidi, Netizen Sebut “Kandang Ayam”
Jakarta, Jendela Magazine – Kebijakan terbaru Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tentang pengurangan luas minimal rumah subsidi menuai kritik pedas dari berbagai pihak. Dalam draf Keputusan Menteri PKP yang belum bernomor, batas minimal luas tanah rumah subsidi dipangkas dari 60 meter persegi menjadi hanya 25 meter persegi, sementara luas bangunan minimal berkurang dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.
Reaksi Publik: “Ini Rumah atau Kandang Ayam?”
Kebijakan ini langsung memicu gelombang protes di media sosial. Banyak netizen menyebut ukuran rumah subsidi yang baru tidak layak huni:
- @Hariadi Harsono: “Ukurannya kecil sekali, untuk bergerak pun sulit. Ini rumah apa kandang ayam?”
- @SitiNurhaliza: “18 meter persegi? Kamar mandi saja sudah 3 meter, mau tidur di mana?”
Alasan Pemerintah: Efisiensi dan Keterjangkauan
Menteri PKP Maruarar Sirait (Ara) menjelaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk:
✔ Menyesuaikan dengan kenaikan harga material
✔ Mengoptimalkan keterbatasan lahan, terutama di perkotaan
✔ Memperluas jangkauan subsidi agar lebih banyak Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang terbantu
Ara juga mengaku terinspirasi oleh desain rumah XYZ Livin milik Lippo Group yang dianggap efisien. Saat kunjungan kerja pada 15 Mei 2025, ia meminta izin CEO Lippo Group James Riady untuk mengadopsi model rumah compact tersebut.
Perbandingan Standar Lama vs. Baru
Parameter | Aturan Lama (2023) | Draf Baru (2025) |
---|---|---|
Luas Tanah Minimal | 60 m² | 25 m² |
Luas Bangunan Minimal | 21 m² | 18 m² |
Luas Maksimal | Tanah: 200 m², Bangunan: 36 m² | Tidak berubah |
Tantangan Kesehatan & Kekumuhan
Para ahli mengingatkan risiko serius jika kebijakan ini diterapkan:
- Ketidaklayakan Hunian
- Standar WHO: 10-12 m² per orang → Keluarga 4 butuh 40-48 m².
- Standar SNI: 9 m² per orang → Minimal 36 m² untuk 4 orang.
- Potensi Kekumuhan
- Junaidi Abdillah (Apersi): “Luas di bawah 9 m² per jiwa tidak sehat dan memicu kekumuhan.”
- Keterbatasan Ruang Gerak: Sulit untuk menambah anggota keluarga atau ruang multifungsi.
- Kritik dari Pengembang
- REI: “Harus ada penyesuaian SNI jika ingin mengubah standar.”
- Apersi: “Kebijakan ini hanya cocok untuk kota besar, tidak untuk daerah.”
Solusi Alternatif yang Bisa Dipertimbangkan
Daripada mengurangi luas rumah, beberapa opsi lain yang bisa diambil pemerintah:
✔ Tingkatkan subsidi uang muka untuk mempertahankan ukuran minimal.
✔ Optimalkan lahan tidur atau bangun rumah susun (rusun) subsidi.
✔ Kolaborasi dengan pengembang untuk skema cicilan lebih ringan.
Apa Langkah Selanjutnya?
- Pemerintah masih mengkaji masukan dari berbagai pihak.
- Jika draf disahkan, aturan baru akan berlaku untuk program FLPP dan Bantuan Uang Muka (BP2BT).
- Masyarakat diharapkan aktif menyampaikan aspirasi melalui saluran resmi.
Kesimpulan
Kebijakan ini memang bertujuan baik, tetapi harus mempertimbangkan kesehatan, kenyamanan, dan keberlanjutan hunian. Jika tidak, alih-alih memenuhi kebutuhan rumah layak, Indonesia justru berisiko menciptakan “kawasan kumuh baru”.