Pertanian Indonesia di Persimpangan Zaman: Antara Krisis Regenerasi dan Peluang Agritech
|

Pertanian Indonesia di Persimpangan Zaman: Antara Krisis Regenerasi dan Peluang Agritech

Di balik gemerlap pembangunan infrastruktur dan ekonomi digital, tersembunyi sebuah kenyataan pahit: Indonesia perlahan kehilangan petaninya. Data BPS terbaru mengungkapkan bahwa 28,4% tenaga kerja nasional masih bergantung pada sektor pertanian, namun rata-rata usia petani kita telah mencapai 54 tahun – sebuah angka yang mengkhawatirkan untuk masa depan ketahanan pangan.

Pilar Ekonomi yang Terabaikan

Saat pandemi melanda, sektor pertanian membuktikan ketangguhannya dengan tumbuh positif 1,75% di tengah kontraksi ekonomi nasional. Namun ironisnya, kontribusi vital ini tidak diimbangi dengan regenerasi yang memadai. Setiap tahun, sekitar 500.000 petani meninggalkan profesinya, sementara hanya segelintir anak muda yang bersedia meneruskan.

“Kami kesulitan mencari operator traktor berusia di bawah 40 tahun,” keluh Budi Santoso, ketua kelompok tani di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. “Anak-anak muda lebih memilih menjadi ojek online atau buruh pabrik.”

Digital Divide di Lahan Pertanian

Padahal, revolusi pertanian 4.0 telah sampai di Indonesia. Startup agritech seperti TaniHub dan Eragano membuktikan bahwa bertani kini bisa dilakukan dengan drone, sensor IoT, dan platform digital. Sayangnya, adopsi teknologi ini masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali, sementara 72% petani kecil di daerah terpencil tetap bergantung pada cara-cara tradisional.

Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, pakar agronomi IPB, menjelaskan: “Masalahnya bukan pada ketersediaan teknologi, tapi pada kesenjangan infrastruktur digital dan literasi petani. Hanya 12% petani kita yang melek teknologi canggih.”

Tiga Ancaman Besar

  1. Krisis Regenerasi: Hanya 8% petani muda (di bawah 35 tahun) yang aktif mengelola lahan
  2. Alih Fungsi Lahan: 100.000 hektar sawah produktif hilang setiap tahun
  3. Produktivitas Stagnan: Pertumbuhan produktivitas hanya 1,2% per tahun, kalah dari Vietnam (3,5%)

Model Sukses yang Bisa Ditiru

Beberapa daerah mulai menunjukkan terobosan:

  • Kabupaten Jember sukses mengembangkan program “Petani Milenial” dengan insentif lahan dan pelatihan teknologi
  • Startup Sayurbox membuktikan bahwa pemasaran digital bisa meningkatkan pendapatan petani hingga 40%
  • Universitas Brawijaya menciptakan program wirausaha pertanian yang telah melahirkan 120 startup agritech dalam 5 tahun

Solusi Sistemik yang Dibutuhkan

  1. Revolusi Pendidikan Pertanian:
  • Integrasi kurikulum agritech di 1.200 SMK Pertanian
  • Beasiswa khusus untuk mahasiswa agroteknologi
  • Program magang berbasis teknologi di sentra produksi
  1. Insentif Ekonomi:
  • Kredit usaha tani dengan bunga 0% untuk petani muda
  • Jaminan harga pokok untuk komoditas strategis
  • Pembebasan pajak untuk startup agritech
  1. Infrastruktur Digital:
  • Jaringan internet pedesaan dengan subsidi pemerintah
  • Pusat pelatihan teknologi pertanian di setiap kecamatan
  • Sistem early warning berbasis AI untuk antisipasi gagal panen

Masa Depan yang Harus Diperjuangkan

Pilihan kita jelas: melanjutkan pola lama dan menghadapi krisis pangan di masa depan, atau berinvestasi besar-besaran untuk transformasi pertanian digital. Kasus sukses di Vietnam membuktikan bahwa dengan kebijakan tepat, sektor pertanian bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang tangguh.

“Kami butuh perubahan paradigma,” tegas Mentan Syahrul Yasin Limpo. “Pertanian bukan lagi soal cangkul dan kerbau, tapi tentang data science, bioteknologi, dan ekonomi digital.”

Waktunya telah tiba untuk menjadikan pertanian sebagai sektor prestisius yang diminati generasi muda. Karena ketika pangan menjadi senjata strategis di era geopolitik modern, ketahanan pangan sama pentingnya dengan pertahanan militer.