Gagasan Upah Sektoral Dedi Mulyadi: Solusi atau Ilusi bagi Pekerja Jawa Barat?
“Ketika upah minimum kabupaten dianggap tak lagi relevan, mungkinkah sistem sektoral menjadi jawaban?”
Kontroversi Usulan Revolusioner Gubernur Jabar
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengguncang dunia ketenagakerjaan dengan usulan penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) beralih ke sistem upah sektoral. Gagasan yang pertama kali disampaikan dalam rapat tripartit di Lembur Pakuan Subang (29/7/2025) ini langsung menuai reaksi beragam dari para pemangku kepentingan.
Mengapa Sistem Lama Dinilai Tidak Rasional?
Dalam Rakernas Apindo (5/8/2025), Dedi memberikan contoh nyata ketidakrasionalan UMK saat ini:
- Perbedaan Rp500.000 untuk pekerja di pabrik berdekatan di perbatasan wilayah
- Kesenjangan ekstrem antara UMK tertinggi (Bekasi Rp5,6 juta) dan terendah (Banjar Rp2,2 juta)
- Politik upah yang kerap menjadi komoditas pemilihan kepala daerah
“Di sektor kimia seharusnya sama upahnya baik di Bandung maupun Banjar,” tegas Dedi yang menginginkan standar gaji berdasarkan jenis industri, bukan lokasi geografis.
Tantangan Nyata Penerapan Sistem Baru
Roy Jinto Ferianto (Ketua KSPSI Jabar) menyoroti tiga masalah utama:
- Disparitas ekstrem yang sudah terlanjur mengakar
- Ketiadaan mekanisme transisi yang jelas
- Dilema patokan upah (apakah mengacu pada yang tertinggi atau terendah)
“Berapa dekade yang dibutuhkan Banjar untuk menyamai Bekasi? Atau apakah Bekasi akan dibekukan kenaikannya?” tanya Roy skeptis.
Peta Kesenjangan Upah Jabar 2025
Wilayah | UMK 2025 | Selisih dengan Bekasi |
---|---|---|
Kota Bekasi | Rp5.690.752 | – |
Kab. Bandung | Rp4.892.121 | Rp798.631 |
Kota Banjar | Rp2.204.754 | Rp3.485.998 |
Dukungan Terbatas dari LKS Tripartit
Muhamad Sidarta (Wakil Ketua LKS Tripartit Jabar) mengakui:
✓ Gagasan secara konsep baik untuk penyeragaman
✗ Sulit direalisasikan tahun ini karena:
- Perlu kajian komprehensif
- Tarik-menarik kepentingan yang kompleks
- Ketidaksiapan sistem pendukung
“2025 terlalu cepat, tapi dengan pengaruh politik Kang Dedi, mungkin bisa terwujud di masa depan,” ujarnya.
Skema Transisi yang Diusulkan
KSPSI mengajukan alternatif:
- Penyesuaian bertahap dengan kenaikan lebih besar untuk daerah berupah rendah
- Penyempitan gap maksimal 20% pertahun
- Pilot project di sektor tertentu sebelum diterapkan menyeluruh
Dilema Dunia Usaha
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan kekhawatiran:
- Biaya operasional melonjak drastis di daerah rendah upah
- Relokasi industri ke wilayah dengan upah lebih murah
- Dampak inflasi pada harga barang/jasa
Perspektif Ekonomi Makro
Ekonom Universitas Padjadjaran, Prof. Arief Anshory Yusuf, memperingatkan:
“Perubahan sistem pengupahan membutuhkan:
- Pemetaan komprehensif produktivitas sektoral
- Analisis dampak terhadap daya saing regional
- Skema kompensasi bagi UMKM”
Jalan Panjang Menuju Keadilan Upah
Meski menuai kritik, gagasan Dedi Mulyadi telah membuka diskusi penting tentang:
- Reformasi sistem pengupahan nasional
- Pengurangan kesenjangan antardaerah
- Depolitisasi kebijakan upah minimum
Seperti dikatakan Sidarta: “Perubahan besar butuh waktu. Yang penting diskusi sudah dimulai.”
“Reformasi sistem upah bukan soal pro atau kontra, tapi tentang menemukan formula tepat untuk keadilan yang berkelanjutan.”