Ketika Royalti vs Solidaritas: Musisi Ini Rela Lepas Hak Cipta Demi Pelaku Usaha Kecil
Jendela Magazine – Di tengah hiruk-pikuk polemik royalti musik yang memanas, gerakan tak terduga muncul dari sejumlah musisi papan atas Indonesia. Mereka justru membuka keran pembebasan royalti untuk usaha mikro seperti kafe dan warung kopi – sebuah langkah kontroversial yang mengubah paradigma hak cipta di Tanah Air.
Latar Belakang: Royalti yang Semakin Menjadi Beban
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) belakangan gencar menagih royalti musik ke berbagai tempat usaha. Namun, banyak pelaku UMKM mengeluhkan mekanisme ini:
- Perhitungan tidak transparan
 - Biaya memberatkan (Rp500 ribu-Rp2 juta/bulan untuk kafe kecil)
 - Prosedur rumit bagi usaha non-korporat
 
Menyikapi hal ini, para musisi memilih jalan berbeda – melepas hak royalti demi ekosistem yang lebih manusiawi.
5 Musisi yang Memilih Solidaritas Daripada Royalti
1. Ahmad Dhani: “Dewa 19 Boleh Diputar Gratis di Jatim!”
Lewat Instagram @ahmadhanipp, pentolan Dewa 19 ini secara resmi membebaskan royalti untuk lagu-lagu ciptaannya (termasuk kolaborasi dengan Virzha dan Ello) di seluruh tempat usaha di Jawa Timur.
Kata Kunci:
“Tidak perlu bayar ke LMK. Silakan putar untuk menghidupkan suasana!”
Ironi: Sebagai anggota DPR RI, Dhani justru melawan regulasi yang seharusnya ia awasi.
2. Rhoma Irama: Raja Dangdut yang Merakyat
Melalui channel YouTube-nya, Sang Raja Dangdut memberi kebebasan mutlak:
- Penyanyi kafe boleh membawakan lagunya tanpa bayar
 - Bahkan didorong sampai “serak-serak” sekalipun
 
Filosofi:
“Musik harus menyatukan, bukan jadi beban ekonomi.”
3. Uan Kaisar (Juicy Luicy): “Mending Putar Lagu Kami Daripada Lo-Fi!”
Vokalis hits “Tanpa Tergesa” ini viral usai live Instagram dimana ia:
- Mengizinkan pemutaran komersial lagu Juicy Luicy
 - Malah menyarankan kafe memutarnya daripada musik lo-fi YouTube
 
Statemen Kocak:
“Kapan saya pernah tagih royalti kafe? Boleh dong dengerin Juicy Luicy sambil ngopi!”
4. Thomas Ramdhan (GIGI): Batasan yang Jelas
Bassis legendaris GIGI ini memberi syarat spesifik:
✅ Gratis untuk pemutaran di kafe & acara kecil (<Rp5 juta)
❌ Berbayar jika untuk iklan/komersial produk
Landasan Pemikiran:
“Saya juga mulai dari manggung di warung kopi. Ini balas budi.”
5. Charly Van Houten (Setia Band): Hadiah untuk yang Memutar Lagu
Vokalis “Cinta Tak Harus Memiliki” ini menggebrak dengan janji:
- Memberi hadiah uang/merchandise jika ada yang memutar lagunya di kafe
 - Membuka kesempatan free cover tanpa royalti
 
Gimmick Unik:
“Lagu saya diputar? Kabari saya, bisa dapat hadiah!”
Dua Kubu yang Bertolak Belakang
Pro-Royalti:
- Armand Maulana (GIGI)
 - Ariel NOAH
 - Nadin Amizah
Alasan: Sistem yang transparan diperlukan untuk sustainability industri musik 
Anti-Royalti untuk UMKM:
- Melihat beban ekonomi pelaku kecil
 - Lebih mementingkan exposure musik
 - Menganggap royalti kafe terlalu birokratis
 
Analisis: Revolusi atau Bomerang?
Dampak Positif:
- Meringankan beban usaha mikro
 - Meningkatkan frekuensi pemutaran lagu lokal
 - Membangun hubungan simbiosis musisi-masyarakat
 
Risiko:
- Potensi penyalahgunaan oleh usaha besar
 - Mengikis nilai ekonomi karya musik
 - Menciptakan preseden buruk bagi musisi indie
 
Data Menarik:
Berdasarkan survei Asosiasi Kafe Indonesia (AKI), 68% pelaku usaha lebih memilih memutar:
- Musik internasional (45%)
 - Lagu tanpa royalti (23%)
 - Hanya 32% yang tetap membayar royalti
 
Masa Depan Royalti Musik: Ada Solusi Tengah?
Para pakara menawarkan kompromi:
- Royalti Bertingkat
 
- Kafe kecil: gratis/persen minimal
 - Restoran besar: tarif proporsional
 
- Sistem Lumpsum
Pembayaran flat per tahun (misal Rp1 juta) untuk UMKM - Teknologi Blockchain
Pelacakan pemutaran real-time dengan pembagian otomatis 
Kesimpulan: More Than Just About Money
Gerakan ini bukan sekadar polemik royalti, tapi ujian karakter:
- Musisi besar seperti Dhani dan Rhoma memilih solidaritas sosial
 - Generasi muda seperti Uan Kaisar lebih peduli engagement
 - Sementara aktivis hak cipta tetap memperjuangkan sustainability
 
Pertanyaan Reflektif:
Di era dimana musik bisa viral dari warung kopi, apakah royalti konvensional masih relevan?
Satu yang pasti: Perdebatan ini baru babak pertama dari revolusi industri musik Indonesia.
Laporan khusus oleh Jendela Magazine | Riset: Tim Redaksi
