Membedah Polemik Royalti: Antara Hak Kreator dan Tantangan Digitalisasi
JENDELA MAGAZINE – Belakangan ini, isu royalti kembali mencuat ke permukaan, memicu perdebatan sengit di kalangan musisi, penulis, dan pelaku industri kreatif. Keluhan utama mereka berpusat pada sistem pembayaran royalti yang dinilai tidak transparan, lambat, dan kerap tidak sesuai ekspektasi. Di sisi lain, pengguna karya—mulai dari bisnis lokal hingga platform digital—sering menganggap mekanisme ini rumit dan membebani.
Akar Masalah: Ketimpangan Sistem di Era Digital
Persoalan royalti sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Selama puluhan tahun, para kreator mengandalkan royalti sebagai salah satu sumber penghasilan utama. Namun, di tengah pesatnya digitalisasi, sistem yang ada justru semakin tertinggal.
Dulu, distribusi karya terbatas pada media konvensional seperti radio, televisi, atau toko fisik. Kini, lagu, buku, dan film beredar luas di platform streaming, media sosial, bahkan ruang publik seperti kafe dan mal. Sayangnya, mekanisme royalti belum sepenuhnya menyesuaikan dengan perubahan ini, sehingga memicu kesenjangan antara:
- Kreator yang merasa haknya tidak terpenuhi.
 - Pengguna karya yang bingung dengan aturan pembayaran.
 - Lembaga pengelola yang kerap dituding tidak transparan.
 
Memahami Royalti: Bukan Sekadar Imbalan, Tapi Hak Ekonomi
Royalti adalah kompensasi finansial yang wajib diberikan kepada pemegang hak cipta atas pemanfaatan karya mereka. Ini bukan sekadar “hadiah,” melainkan hak yang dijamin undang-undang. Di Indonesia, payung hukumnya adalah UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengatur:
- Hak ekonomi kreator untuk mendapat manfaat dari karyanya.
 - Peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam mengumpulkan dan mendistribusikan royalti.
 
Namun, di lapangan, implementasinya masih bermasalah.
Contoh Kasus: Bukan Sekadar Imbalan, Tapi Hak Ekonomi
- Industri Musik
Setiap kali lagu diputar di Spotify, radio, atau bahkan di kafe, musisi berhak mendapat royalti. Tapi, berapa persen yang benar-benar sampai ke mereka? Banyak yang mengeluh pembagiannya tidak jelas. - Dunia Literasi
Penulis buku seharusnya mendapat persentase dari setiap penjualan. Namun, royalti 10% dari harga buku seringkali tidak sebanding dengan kerja keras menulis selama berbulan-bulan. - Film dan Konten Digital
Produser film harus berbagi pendapatan dengan platform streaming, bioskop, dan distributor. Tapi, laporan penayangan kerap tidak transparan, membuat perhitungan royalti jadi bias. 
Titik Kritis yang Sering Diperdebatkan
- Transparansi Perhitungan
 
- Banyak kreator tidak tahu bagaimana angka royalti mereka ditentukan.
 - Contoh: Musisi jarang mendapat laporan detail soal berapa kali lagunya diputar di platform digital.
 
- Pendataan yang Ambigu
 
- Karya tidak terdaftar dengan baik di sistem LMKN, sehingga pembayaran terhambat.
 - Kasus nyata: Lagu-lagu lama sering “hilang” dari database, padahal masih kerap diputar.
 
- Edukasi yang Minim
 
- Banyak pelaku usaha tidak sadar wajib membayar royalti saat menggunakan musik di tempat publik.
 - Misalnya: Restoran yang memutar lagu tanpa lisensi bisa kena sanksi, tapi aturan ini kurang disosialisasikan.
 
Solusi: Modernisasi Sistem dan Kolaborasi
Untuk meminimalkan polemik, diperlukan:
✔ Teknologi Blockchain – Agar pencatatan penggunaan karya lebih akurat dan real-time.
✔ Database Terintegrasi – Memastikan semua karya tercatat dan hak kreator terlindungi.
✔ Edukasi Massal – Baik untuk kreator maupun pengguna karya, agar memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Penutup: Royalti Bukan Sekadar Uang, Tapi Apresiasi
Polemik royalti mencerminkan ketimpangan sistem di industri kreatif. Jika ingin ekosisten ini maju, transparansi, teknologi, dan kolaborasi menjadi kuncinya. Jangan sampai kreator terus dirugikan, sementara karyanya justru mendatangkan keuntungan besar bagi pihak lain.
Bagaimana pendapat Anda? Sudah adilkah sistem royalti di Indonesia? 🤔
