Krisis Pasokan Beras Premium di Kediri: Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Pasar Lokal
KEDIRI – Kebijakan pemerintah dalam memberantas praktik beras oplosan mulai menunjukkan dampak signifikan di tingkat pedagang. Di Pasar Pemenang, Pare, Kabupaten Kediri, pasokan beras premium kemasan 5 kilogram merosot tajam hingga 40% setelah sejumlah produsen menghentikan produksi.
Produsen Berhenti Beroperasi, Pedagang Kelimpungan
Suhermin (45), salah satu pedagang beras di pasar tersebut, mengaku kesulitan memenuhi permintaan pelanggan sejak dua pekan terakhir. Menurutnya, beberapa pabrik beras lokal memilih menghentikan sementara produksi beras premium karena ketidakseimbangan antara harga gabah dan Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Gabah medium saja sudah Rp12.500 per kilogram. Kalau dipaksakan produksi dengan HET sekarang, pabrik bisa merugi,” ujarnya saat berbincang dengan Jendela Magazine, Rabu (13/8/2025).
Beberapa merek lokal seperti Lele, Lahap, dan sejumlah produk nasional (Sania, Fortune, Setra Ramos) kini hanya menyediakan kemasan 25 kg dengan stok terbatas. Akibatnya, banyak pembeli, terutama pemilik rumah makan, kecewa karena tidak lagi menemukan beras premium favorit mereka.
“Beras lokal dari penggilingan desa jadi alternatif, tapi kualitasnya kurang bersih—masih ada kerikil atau kulit gabah. Restoran biasanya menolak pakai beras seperti ini,” jelas Suhermin.
Harga Naik, Stok Menipis
Sebelumnya, Suhermin bisa mendapatkan pasokan hingga 15 ton per pengiriman. Kini, stoknya merosot drastis, sementara permintaan tetap tinggi.
“Kalau ada, yang laris tetap Lele dan Lahap premium. Kalau habis, terpaksa tawarkan merek lain dengan harga lebih tinggi,” katanya.
Ia berharap pemerintah dan produsen segera menemukan solusi untuk menstabilkan pasokan. “Harusnya kalau beras premium, benar-benar premium. Kalau medium, harganya juga disesuaikan pasar, bukan dipatok terlalu rendah,” ujarnya.
Respons Pemerintah: Intervensi dengan Beras SPHP
Menanggapi gejolak ini, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Kediri, Tutik Purwaningsih, menyatakan pihaknya telah menyiapkan langkah antisipasi, termasuk:
- Gerakan Pangan Murah (GPM) di 26 kecamatan (Agustus-Desember 2025), bekerja sama dengan Bulog untuk menyalurkan beras SPHP seharga Rp60.000 per 5 kg.
 - Pengawasan ketat terhadap labelisasi dan kualitas beras.
 - Operasi pasar oleh Satgas Pangan (gabungan Bulog, TNI, Polri, dan dinas terkait).
 
“Kami fokuskan intervensi di daerah rawan pangan. Kalau di suatu wilayah sedang panen, kami tidak turun tangan agar harga gabah petani tidak anjlok,” jelas Tutik.
Temuan Satgas Pangan: Pelanggaran Label dan HET
Bulan lalu, Satgas Pangan melakukan inspeksi ke sejumlah produsen, termasuk UD Sinar Tani (Kunjang), CV Sumber Pangan (Pagu), dan beberapa swalayan besar. Hasilnya, ditemukan beberapa pelanggaran:
- Kemasan tidak mencantumkan informasi lengkap.
 - Berat bersih tidak sesuai label.
 - Penjualan beras medium di atas HET.
 
“Kalau ada produsen ketahuan mengoplos, izin edarnya kami cabut,” tegas Tutik.
Prospek ke Depan: Akankah Harga Stabil?
Sementara pemerintah berupaya menjaga stabilitas, pedagang seperti Suhermin masih waswas. “Kalau pasokan tetap langka, harga bisa naik lagi. Kami berharap ada kebijakan yang lebih berpihak pada pedagang kecil dan konsumen,” pungkasnya.
Catatan Redaksi:
Artikel ini didasarkan pada investigasi lapangan dan wawancara eksklusif. Setiap klaim telah diverifikasi dengan sumber resmi. Dilarang memuat ulang tanpa izin.
