Kemacetan Kronis di Kawasan Pasar Senen: Antara Kebutuhan Praktis dan Ketidaktegasan Penertiban
JENDELA MAGAZINE – Jakarta Pusat kembali dihadapkan pada persoalan klasik: kemacetan parah di sepanjang Jalan Pasar Senen menuju Jalan Bungur Raya. Pada Selasa (12/8/2025), ruas jalan tersebut kembali berubah menjadi lautan kendaraan yang nyaris tak bergerak, dipadati parkir liar, bajaj yang berhenti sembarangan, serta pedagang kaki lima (PKL) yang memadati trotoar hingga badan jalan.
Berdasarkan pantauan Jendela Magazine, antrean kendaraan memanjang hingga 588 meter, membentang dari Kramat Bunder hingga pintu masuk Pasar Senen Blok 3. Titik terparah terpusat di depan Masjid Raya Al Arif, di mana aktivitas parkir liar dan jual-beli menggerus ruang gerak kendaraan. Suara klakson bersahutan, sementara pengendara motor terpaksa menyerobot trotoar atau nekat melawan arus demi mencari celah.
Parkir Liar dan PKL: Biang Kemacetan yang Tak Kunjung Tertibkan
Kemacetan di kawasan ini seakan menjadi ritual harian. Salah satu penyebab utamanya adalah maraknya kendaraan yang diparkir sembarangan. Roni (29), warga sekitar, mengeluh bahwa lokasi persimpangan dan akses menuju Pasar Senen Blok 3 memperburuk situasi.
“Sudah macet sejak dulu karena ini area persimpangan, tapi parkir liar dan PKL bikin semuanya makin kacau. Saya selalu parkir di dalam gedung pasar, tapi banyak yang lebih suka sembarangan berhenti,” ujarnya.
Meski gedung Pasar Senen Jaya menyediakan lahan parkir yang memadai, banyak pengunjung lebih memilih parkir di pinggir jalan dengan alasan kepraktisan. Rendi (33), seorang pengendara motor, mengaku sengaja parkir di tepi jalan demi efisiensi waktu.
“Kalau masuk parkiran resmi harus muter jauh. Di sini tinggal langsung keluar, lebih cepat,” katanya.
Pendapat serupa diungkapkan Linda (41), pembeli rutin di Pasar Senen, yang mengaku lebih memilih parkir dekat pintu masuk meski harus berdesakan. Namun, tidak semua warga menempuh cara serupa. Naya (27), misalnya, memilih parkir di area resmi demi keamanan.
“Motor sekarang rawan dicuri. Lebih baik bayar parkir resmi daripada ambil risiko,” ujarnya. Ia berharap ada penertiban lebih tegas agar jalanan tak lagi semrawut.
Parkir Liar: Sumber Nafkah yang Sulit Dihentikan
Di balik kekacauan lalu lintas, ada realitas ekonomi yang tak bisa diabaikan. Budi (33), seorang juru parkir liar (yang enggan disebutkan namanya aslinya), mengaku mengais rezeki dari aktivitasnya memungut bayaran parkir di pinggir jalan.
“Ini sudah jadi mata pencaharian kami. Pernah ada penertiban, tapi ya balik lagi. Kalau tidak di sini, mau cari kerja di mana?” katanya.
Menurut Wahyu (41), satpam Pasar Senen, keberadaan parkir liar sulit diberantas karena sudah menjadi bagian dari ekosistem pasar.
“Pernah dibersihkan, tapi tidak bertahan lama. Banyak yang merasa terbantu dengan parkir liar karena lebih praktis, meski akhirnya bikin macet,” ujarnya.
Harapan Penertiban vs Realitas Sosial
Meski aparat setempat sesekali melakukan operasi penertiban, masalah ini seperti tak pernah tuntas. Warga seperti Naya berharap ada tindakan lebih tegas, sementara kelompok seperti Budi justru bertahan dengan alasan ekonomi.
Di tengah tarik-menarik antara kepentingan praktis pengendara, kebutuhan nafkah juru parkir liar, dan ketertiban umum, kemacetan di Pasar Senen masih menjadi potret buram tata kota Jakarta yang belum menemukan solusi ideal.
Tanpa kebijakan yang menyeluruh—mulai dari penegakan hukum konsisten, penyediaan fasilitas parkir yang lebih efisien, hingga solusi ekonomi bagi para pelaku parkir liar—masalah ini diprediksi akan terus berulang.
(Reporter: Tim Jendela Magazine)
