Jawaban Modul 2 PPG 2025: Penerapan Pembelajaran Sosial Emosional dalam konteks Experiential Learning
JENDELA MAGAZINE – Di era pendidikan kontemporer, peran guru telah mengalami transformasi yang signifikan. Tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, pendidik kini juga dituntut untuk membentuk kepribadian siswa yang utuh melalui penguatan aspek sosial dan emosional. Konsep Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) muncul sebagai jawaban atas kebutuhan ini, dengan menitikberatkan pada pengembangan kecerdasan emosional, kemampuan bersosialisasi, serta keterampilan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Modul 2 PPG 2025 mengangkat tema strategis tentang integrasi PSE dalam Experiential Learning—sebuah pendekatan pembelajaran yang mengedepankan pengalaman langsung. Lantas, bagaimana penerapannya dalam praktik pendidikan sehari-hari?
Memahami Pembelajaran Sosial Emosional (PSE)
PSE bukan sekadar teori, melainkan sebuah proses holistik yang membantu siswa:
- Mengenal emosi diri – Siswa diajak memahami perasaan mereka sendiri.
 - Berempati dengan orang lain – Mengasah kepekaan terhadap lingkungan sosial.
 - Membuat keputusan bijak – Belajar mempertimbangkan konsekuensi dari setiap tindakan.
 - Membangun relasi positif – Mengembangkan komunikasi yang sehat dengan teman sebaya.
 - Mengatasi tantangan – Melatih ketahanan mental dalam menghadapi kesulitan.
 
Keterampilan ini menjadi fondasi penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.
Studi Kasus & Solusi Penerapan PSE dalam Experiential Learning
Kasus 1: Membangun Kepercayaan Diri Siswa
Situasi:
Siti, siswa yang rajin, sering ragu mengemukakan pendapat karena takut dikritik. Saat ia akhirnya berani berbicara dalam kelompok, tanggapannya justru dikoreksi secara kasar, membuatnya semakin tidak percaya diri.
Solusi Terbaik:
C. Membimbing kelompok agar memberikan masukan secara empatik dan konstruktif sembari mendorong Siti melatih kepercayaan dirinya.
Pendekatan ini menggabungkan dukungan kelompok dengan pembinaan individual, menciptakan lingkungan yang inklusif bagi perkembangan Siti.
Kasus 2: Kolaborasi Multidisiplin dalam Proyek “Market Day”
Situasi:
Sebagai guru IPS, Anda merancang proyek kewirausahaan dengan melibatkan guru lain dan orang tua. Namun, sebagian pihak meragukan manfaat kegiatan ini dan enggan berpartisipasi.
Solusi Terbaik:
E. Mengadakan pertemuan koordinasi untuk menjelaskan tujuan proyek dan membagi peran secara proporsional.
Komunikasi transparan tentang nilai edukatif proyek dapat mengubah skeptisisme menjadi dukungan aktif.
Kasus 3: Guru sebagai Role Model
Situasi:
Pak Budi ketahuan merokok oleh siswa, yang kemudian menjadikannya alasan untuk ikut merokok. Hal ini memicu refleksi tentang keteladanan seorang pendidik.
Solusi Terbaik:
C. Mengakui kesalahan dan mengajak siswa berkomitmen bersama untuk berhenti merokok.
Dengan menunjukkan sikap rendah hati dan tekad memperbaiki diri, guru dapat menjadi contoh nyata perubahan positif.
Kasus 4: Menyiasati Penolakan Siswa terhadap Pekerjaan Rumah
Situasi:
Andi menolak mengerjakan tugas rumah karena orang tuanya melarangnya membantu pekerjaan domestik.
Solusi Terbaik:
E. Memberi pemahaman tentang manfaat tanggung jawab pribadi dan memilih tugas yang ringan seperti merapikan kamar.
Pendekatan bertahap ini menghargai batasan keluarga sembari melatih kemandirian siswa.
Kasus 5: Membangun Budaya Kolaborasi antar Guru
Situasi:
Inisiatif “Forum Belajar Bersama” di sekolah ditanggapi dengan skeptis oleh sebagian guru.
Solusi Terbaik:
C. Menjelaskan manfaat forum secara persuasif dengan contoh konkret peningkatan kesejahteraan guru.
Dengan eviden dan komunikasi efektif, resistensi dapat diubah menjadi partisipasi sukarela.
PSE & Experiential Learning: Kombinasi Pembelajaran yang Bermakna
Melalui pendekatan Experiential Learning, PSE tidak hanya diajarkan, tetapi dialami oleh siswa. Guru berperan sebagai fasilitator yang:
- Merancang pengalaman belajar relevan.
 - Memandu refleksi kritis.
 - Membantu siswa menerapkan nilai-nilai sosial emosional dalam kehidupan nyata.
 
Hasilnya? Proses pembelajaran menjadi lebih dinamis, berdampak jangka panjang, dan mencetak generasi yang siap menghadapi kompleksitas kehidupan di masa depan.
