Kilang Minyak Indonesia di Tengah Tren Global: Kebutuhan Nasional vs. Stagnasi Dunia

Kilang Minyak Indonesia di Tengah Tren Global: Kebutuhan Nasional vs. Stagnasi Dunia

JAKARTA – Di tengah tren global yang menunjukkan stagnasi dalam bisnis pengolahan minyak, Indonesia justru menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat ketahanan energinya melalui pembangunan kilang baru. Laporan terbaru menunjukkan bahwa penambahan kapasitas kilang dalam negeri menjadi sebuah keharusan strategis bagi negara berkembang non-OECD seperti Indonesia.

Tren Global: Penutupan Kilang vs. Pertumbuhan di Asia

Berdasarkan paparan dari PT Pertamina (Persero), setidaknya 26 kilang minyak dan gas bumi (migas) di seluruh dunia diproyeksikan akan tutup menjelang tahun 2030. Fenomena ini terutama terjadi di kawasan Eropa, Amerika, dan Australia, didorong oleh kelebihan pasokan (oversupply), rendahnya profitabilitas, serta transisi menuju energi terbarukan.

Namun, tren ini tidak berlaku universal. Menurut Pri Agung Rakhmanto, Founder & Advisor ReforMiner Institute, negara-negara non-OECD di kawasan Asia Pasifik justru terus meningkatkan kapasitas kilang mereka. “Bagi Indonesia yang masih mengandalkan energi fosil untuk pertumbuhan ekonomi, penambahan kapasitas kilang adalah sebuah kebutuhan mendesak,” ujarnya.

Peta Pengembangan Kilang Global

Data yang dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan 25 rencana penambahan kilang baru hingga tahun 2028, dengan distribusi utama di:

  • China: 5 kilang
  • India: 11 kilang
  • Kawasan Timur Tengah: Iran, Bahrain, Irak, Yordania, Oman, dan Arab Saudi
  • Lainnya: Nigeria dan Meksiko

Perubahan peta kekuatan industri kilang global terlihat jelas. Jika pada tahun 2000, 45% kapasitas kilang dunia terkonsentrasi di AS, Eropa Barat, dan Jepang, maka pada tahun 2024, lebih dari 34% kapasitas justru berada di kawasan Timur Tengah, China, dan India.

Tantangan dan Peluang Pengembangan Kilang di Indonesia

Indonesia menghadapi beberapa kendala klasik dalam pengembangan kilang, termasuk aspek politik, pendanaan, dan prioritas investasi. Namun, peluang baru mulai terbuka dengan rencana pembangunan 17 unit kilang modular oleh BPI Danantara dengan nilai investasi mencapai US$8 miliar.

“Keberadaan kilang modular dapat menjadi solusi untuk masalah pendanaan, teknologi, dan jaringan pasokan,” jelas Pri.

Faktor pendukung lainnya adalah kesepakatan impor minyak mentah dengan AS yang tidak hanya menjamin pasokan bahan baku, tetapi juga transfer teknologi dan penguatan di sektor hulu, midstream, dan downstream.

Manfaat Strategis bagi Ketahanan Energi Nasional

Pengembangan kilang nasional memiliki dampak strategis yang melampaui sektor energi. Keberadaan kilang yang beroperasi secara optimal dapat:

  1. Mengurangi Devisa Impor: Mengolah minyak mentah domestik mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar jadi.
  2. Meningkatkan Nilai Tambah: Proses hilirisasi migas menciptakan rantai nilai ekonomi yang lebih panjang.
  3. Stabilitas Pasar: Melindungi Indonesia dari fluktuasi dan gejolak pasar migas global.

Kesimpulan: Perlunya Akselerasi Investasi

Di tengah tren penutupan kilang secara global, Indonesia justru berada pada posisi yang membutuhkan akselerasi investasi di sektor pengolahan minyak. Kebijakan yang mendukung investasi kilang modular dan kemitraan strategis dengan negara produsen minyak mentah seperti AS dapat menjadi kunci untuk membangun ketahanan energi yang berkelanjutan.

“Impor minyak mentah tetap lebih menguntungkan dibandingkan impor bahan bakar jadi. Ada proses peningkatan nilai tambah ekonomi yang signifikan yang didapat dari keberadaan kilang,” pungkas Pri Agung Rakhmanto.

Dengan demikian, langkah strategis pengembangan kilang nasional bukan hanya tentang mengikuti tren global, tetapi tentang memastikan kemandirian dan ketahanan energi Indonesia di masa depan.