|

Lumbung Nusantara Kembali Berdengung: Satu Tahun Terobosan Pangan di Bawah Kepemimpinan Prabowo-Gibran

Hanya dalam kurun waktu satu tahun, gelora swasembada pangan yang digaungkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mulai menunjukkan wujud nyata. Mimpi yang sempat dianggap utopia, kini menjelma menjadi sebuah narasi pembangunan yang penuh optimisme.

Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan geliat positif sektor pangan dengan produksi beras periode Januari–November 2025 yang diprediksi melambung hingga 33,19 juta ton. Angka ini tidak hanya sekadar naik 12,62% dari tahun sebelumnya, tetapi juga menjadi rekor tertinggi yang menghentikan tren stagnasi selama tujuh tahun terakhir.

“Kita patut bersyukur, pintu gerbang swasembada sudah terbentang di depan mata. Dengan izin Tuhan, pada Desember mendatang kita akan mendeklarasikan sebuah pencapaian bersejarah, di mana produksi beras kita mencapai puncak tertinggi dalam kurun waktu tujuh tahun,” ujar Moch. Arief Cahyono, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Pertanian (Kementan), dengan nada penuh keyakinan.

Menurut Arief, resep di balik kesuksesan ini adalah kolaborasi yang solid. “Ini adalah buah dari gotong royong seluruh elemen bangsa, mulai dari para petani di garis depan, kementerian dan lembaga terkait, BUMN Pangan, hingga dukungan TNI dan Polri. Semua bersinergi untuk satu tujuan,” tegasnya.

Untuk mewujudkan lompatan produksi ini, Kementan mendorong sejumlah strategi besar. Langkah-langkah seperti optimalisasi dan pencetakan sawah baru, perbaikan infrastruktur irigasi, hingga modernisasi alat pertanian (alsintan) dijalankan secara masif. “Kunci utamanya adalah intensifikasi. Lahan yang sebelumnya hanya ditanami sekali, kini bisa menghasilkan dua hingga tiga kali panen dalam setahun. Inilah yang mendongkrak produksi kita secara signifikan,” papar Arief.

Prestasi Indonesia tak hanya menjadi berita utama di dalam negeri, tetapi juga menarik perhatian dunia. Lembaga internasional seperti Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memberikan pengakuan. FAO bahkan menempatkan Indonesia di posisi kedua negara dengan pertumbuhan produksi beras tercepat di dunia.

“Pengakuan global ini nyata. Yang paling membanggakan, kita telah menghentikan ketergantungan pada impor beras. Sebuah pencapaian monumental di era kepemimpinan Presiden Prabowo,” imbuh Arief.

Dampak dari kesuksesan ini bersifat multidimensional. Di tingkat makro, Cadangan Beras Pemerintah (CBP) menguat hingga 4,2 juta ton, menjamin stabilitas pasokan. Sementara di tingkat akar rumput, kesejahteraan petani mengalami lompatan luar biasa, tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menyentuh level 124,36—angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

“Kebahagiaan petani saat ini juga didorong oleh kebijakan revolusioner pemerintah dalam menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah sebesar Rp6.500 per kilogram GKP pada 2025. Ini adalah insentif nyata yang langsung menyentuh kehidupan mereka,” jelas Arief.

Menteri Zulhas: Dari Krisis Menuju Surplus

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), dengan tegas menyoroti transformasi yang terjadi. “Dalam satu tahun, kita berhasil membalikkan keadaan. Nilai Tukar Petani yang sebelumnya berkutat di angka 101-106, kini melesat ke 124. Yang dulu kita impor 4,5 juta ton beras, hari ini gudang Bulog justru surplus 4 juta ton,” tuturnya.

Zulhas juga menyoroti peran Koperasi Desa (Kopdes) sebagai pahlawan baru di tingkat tapak. “Dengan adanya Kopdes, dominasi tengkulak berhasil kita perkecil. Ekonomi desa bergerak, dan setiap hektare lahan yang ditanami komoditas seperti jagung, padi, atau singkong, kini memiliki potensi menghasilkan hingga Rp80 juta. Ini adalah tentang memakmurkan rakyat secara langsung,” pungkasnya.