|

Perkembangan Sektor Manufaktur Indonesia yang Menjanjikan

Indonesia terus menunjukkan tanda-tanda perbaikan di sektor manufaktur, dengan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur yang tetap berada di zona ekspansi selama empat bulan berturut-turut hingga November 2025. PMI pada bulan tersebut mencapai level 53,3, meningkat dari angka 51,2 pada bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur masih dalam kondisi positif.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, peningkatan PMI ini menunjukkan bahwa permintaan domestik tetap tinggi. “Ini menandakan bahwa permintaan dalam negeri cukup kuat,” ujarnya saat menghadiri Rapat Pimpinan Nasional Kadin pada Senin (1/12). Ia menilai, momentum positif ini merupakan hasil dari konsumsi masyarakat yang stabil dan terus berkembang.

S&P Global juga mencatat bahwa permintaan utama berasal dari pasar domestik, sementara pesanan ekspor mengalami penurunan terdalam dalam 14 bulan terakhir. Meskipun demikian, pesanan baru menjadi pendorong utama ekspansi manufaktur, karena jumlah pelanggan meningkat dan permintaan dalam negeri tetap kuat. Permintaan yang membaik juga memengaruhi sejumlah indikator utama, seperti peningkatan tenaga kerja, peningkatan tumpukan pekerjaan, serta aktivitas pembelian bahan baku.

Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menilai bahwa hasil survei November menunjukkan momentum positif sektor manufaktur. “Perekonomian domestik menjadi pendorong utama permintaan menjelang akhir tahun 2025, karena perusahaan mencatat penurunan pesanan ekspor baru yang lebih tajam,” jelasnya.

Tanda-Tanda Positif dan Keberhati-hatian

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, menilai kenaikan PMI selama empat bulan berturut-turut sebagai sinyal positif bagi dunia usaha. Namun, ia menekankan pentingnya kehati-hatian, karena penguatan manufaktur saat ini masih bergantung pada permintaan domestik dan faktor musiman. Pesanan ekspor justru mengalami kontraksi terdalam dalam 14 bulan terakhir.

Indeks Kepercayaan Industri (IKI) November mencapai 53,45, lebih tinggi dari tahun lalu, namun kenaikannya masih bertahap. Shinta menyatakan bahwa optimisme industri saat ini masih sangat ditentukan oleh momentum jangka pendek. “Kekuatan manufaktur saat ini masih sangat bergantung pada siklus konsumsi akhir tahun, serta transmisi stimulus kebijakan, bukan pada perbaikan struktural yang lebih kuat,” ujarnya.

Memasuki 2026, Shinta melihat peluang ekspansi tambahan berkat konsolidasi faktor musiman seperti Tahun Baru, Imlek, hingga Ramadan dan Idulfitri. Namun, ia mengingatkan potensi risiko pelemahan pada Kuartal II dan III tahun 2026 perlu diantisipasi jika tidak ada kebijakan yang mampu menjaga permintaan ketika faktor musiman tersebut mereda.

Ketidakmerataan Pemulihan dan Tantangan

Shinta menyoroti bahwa pemulihan manufaktur belum merata. Berdasarkan Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia, subsektor berbasis komoditas primer, transportasi, mesin, logam, kimia, dan material industri masih menjadi penopang utama. Sebaliknya, subsektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, dan furnitur justru menghadapi tekanan lebih besar akibat pelemahan ekspor, tensi geopolitik, fragmentasi perdagangan, dan kebijakan tarif resiprokal.

“Mesin manufaktur Indonesia mulai bergerak, tetapi fondasinya masih rentan jika pemulihan bertumpu pada momentum konsumsi jangka pendek,” tukasnya.

Shinta menilai, stimulus pemerintah akan berdampak lebih kuat pada 2026, sehingga implementasinya harus tepat sasaran hingga ke sektor riil, termasuk UMKM yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional. Ia juga menekankan pentingnya efisiensi biaya usaha, mulai dari pengurangan cost of compliance, ketersediaan pembiayaan berbunga kompetitif, hingga pengendalian biaya energi, logistik, dan tenaga kerja.

Bagi dunia usaha, dia menambahkan, stabilisasi rantai pasok dan biaya produksi harus diprioritaskan untuk menciptakan kepastian biaya. Selain itu, penguatan permintaan domestik sebagai motor utama ekspansi menjadi faktor kunci keberlanjutan pertumbuhan industri.

“Percepatan investasi dan modernisasi industri harus terus didorong agar kontribusi industri terhadap PDB, produktivitas, dan penyerapan tenaga kerja meningkat,” terang Shinta.