Respons Pasar Mengiringi Aksi Akomodatif Bank Indonesia

Jendela Magazine Bank Indonesia (BI) terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebanyak empat kali secara bertahap dalam periode Januari hingga Agustus 2025. Kebijakan moneter akomodatif ini telah menurunkan BI Rate sebesar 75 basis poin (bps), membawa level suku bunga acuan menjadi 5%.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa langkah penurunan suku bunga telah efektif menurunkan suku bunga di pasar uang dan perbankan. Sebagai bukti, pasca pemotongan BI Rate pada Juli 2025 dan didukung operasi moneter BI, suku bunga acuan pasar uang (INDONIA) berhasil turun dari 5,14% menjadi 4,78% per 19 Agustus 2025.

Penyesuaian serupa juga terlihat pada instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan. Masing-masing mengalami penurunan signifikan: dari 5,85%, 5,86%, dan 5,87% menjadi 5,28%, 5,32%, dan 5,34% per 15 Agustus 2025.

Tidak hanya di pasar uang, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) juga menunjukkan tren melandai. Yield SBN tenor 2 tahun turun dari 5,86% menjadi 5,54%, sedangkan tenor 10 tahun menyusut dari 6,56% menjadi 6,40%.

Di balik tren penurunan suku bunga, arus masuk modal asing justru menunjukkan momentum positif. BI mencatat aliran masuk bersih (net inflow) ke instrumen SBN mencapai sekitar US$1 miliar per bulan pada Juli hingga pertengahan Agustus 2025.

“Pada triwulan III-2025, aliran masuk portofolio asing ke SBN terus berlanjut. Hingga 15 Agustus, net inflow tercatat masing-masing sebesar US$1 miliar untuk bulan Juli dan Agustus,” jelas Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (20/8).

Prospek Pasar Modal dan Penguatan Rupiah

Menyikapi kebijakan BI, Global Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menyatakan bahwa tren penurunan BI Rate masih akan berdampak pada penurunan yield obligasi. Namun, prospek pasar obligasi domestik dinilai tetap atraktif bagi investor, didorong oleh selisih imbal hasil (spread) yang masih lebar dibandingkan obligasi AS, yakni lebih dari 205 bps untuk tenor 10 tahun.

“Dengan inflasi yang terkendali dan stabilitas nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga tetap bersifat akomodatif tanpa mengorbankan daya tarik investasi,” ujar Myrdal.

Meski demikian, ia menilai ruang apresiasi untuk instrumen obligasi seperti SBN dan SRBI telah terbatas karena sebagian besar telah dihargai wajar (price in) oleh pasar. Sebaliknya, perhatian mulai beralih ke pasar saham, khususnya sektor perbankan dan properti, yang diprediksi akan diuntungkan dari lingkungan suku bunga yang lebih rendah.

“Beberapa sektor emiten terkait program pemerintah, seperti pangan, energi, pendidikan, kesehatan, dan hilirisasi, juga berpotensi mendapat dukungan dari kebijakan moneter ini,” tambah Myrdal kepada Jendela Magazine, Kamis (21/8).

Myrdal juga berharap penurunan suku bunga dapat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat melalui penurunan suku bunga kredit floating, yang pada gilirannya akan meringankan beban cicilan.

Di sisi nilai tukar, ia memproyeksikan Rupiah masih memiliki ruang untuk menguat hingga level di bawah Rp16.000 per dolar AS pada akhir tahun. Optimisme ini didukung oleh potensi arus masuk modal, tren penurunan suku bunga global, serta realisasi investasi asing langsung (FDI/PMA).

“Dukungan juga datang dari defisit neraca transaksi berjalan (current account) yang masih rendah, memperkuat fondasi Rupiah,” pungkasnya.

Pernyataan senada disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo, yang menekankan stabilitas Rupiah dengan kecenderungan menguat. Stabilitas ini ditopang oleh kebijakan BI, masuknya modal asing ke SBN, serta meningkatnya konversi devisa eksportir ke Rupiah, yang semakin kuat berkat implementasi kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).