“Merah Putih: One For All” – Antara Cita-Cita Nasionalisme dan Kontroversi Kualitas Animasi

“Film senilai Rp 6,7 miliar ini justru menuai badai kritik: dari animasi ‘jadul’ hingga dugaan penggunaan aset bajakan.”

Gelombang Kritik yang Tak Terduga

Film animasi “Merah Putih: One For All” tiba-tiba menjadi perbincangan panas di media sosial. Bukan karena prestasi, melainkan karena kualitas animasi yang dinilai jauh di bawah standar meski menghabiskan anggaran produksi hingga Rp 6,7 miliar.

Netizen dengan cepat membandingkan visual film ini dengan grafis game PlayStation 2, sementara yang lain menduga ada penggunaan aset animasi siap pakai (asset flip) alih-alih karya orisinal. Kontroversi semakin memanas ketika diketahui proses produksinya hanya 3 bulan—terlalu singkat untuk film beranggaran miliaran.

Di Mana Uang Rp 6,7 Miliar Itu Pergi?

Pertanyaan besar muncul: Benarkah dana sebesar itu digunakan secara optimal?

  • Produser Toto Soegriwo membantah dana berasal dari pemerintah, tapi enggan merinci alokasi anggaran.
  • Proses produksi kilat (Juni-Agustus 2025) memicu spekulasi pemborosan atau ketidakprofesionalan.
  • Animasi yang kaku dan minim detail membuat banyak orang bertanya-tanya: “Ini hasil Rp 6,7 miliar?”

Beberapa warganet bahkan mendesak KPK turun tangan menyelidiki kemungkinan penyelewengan dana.

Kritik Pedas: Dari Animasi hingga Cerita yang Klise

Sejak trailer dirilis, komentar negatif membanjiri media sosial:

“Ini kayak game PS 2 yang di-render ulang!”
“Rp 6,7 miliar cuma buat asset flip? Mending nonton animasi indie!”
“Ceritanya terlalu dipaksakan, nasionalisme-nya cuma tempelan.”

Adegan tertentu bahkan dianggap menyindir isu korupsi, seperti ketika karakter utama berkata:
“Ambil benderanya, tapi jangan sampai keluar biaya!”

Ada yang Membela? Sedikit.

Beberapa pihak mencoba melihat sisi positif:

  • Pesan persatuan delapan anak dari berbagai suku di Indonesia.
  • Niat baik memperingati HUT RI ke-80.

Namun, Ryan Adriandhy (sutradara film animasi “Jumbo”) memilih tidak berkomentar panjang, hanya berharap industri animasi Indonesia bisa belajar dari kritik.

Sinopsis: Nasionalisme ala “Tim Merah Putih”

Film ini bercerita tentang delapan anak dari berbagai daerah (Betawi, Papua, Medan, dll.) yang tergabung dalam “Tim Merah Putih”. Tugas mereka adalah menjaga bendera pusaka yang akan dikibarkan pada 17 Agustus.

Namun, 3 hari sebelum upacara, bendera itu hilang secara misterius. Mereka pun berpetualang mengembalikannya, menghadapi rintangan alam, konflik budaya, dan ujian persatuan.

Sayangnya, eksekusi cerita dinilai dangkal, dan pesan nasionalisme terkesan hanya sebagai “pemanis” tanpa kedalaman.

Jadwal Tayang & Ironi di Baliknya

Film ini rencananya tayang 14 Agustus 2025, bertepatan dengan HUT RI ke-80. Namun, alih-alih menjadi kado kemerdekaan, film ini justru dikenang karena kontroversinya.

Pelajaran untuk Industri Animasi Indonesia

  1. Transparansi anggaran penting – Publik berhak tahu bagaimana dana besar digunakan.
  2. Kualitas harus sepadan – Nasionalisme saja tak cukup jika eksekusi buruk.
  3. Waktu produksi realistis – Animasi bagus butuh proses, bukan kerja instan.

Penutup: Akankah Film Ini Gagal Total?

Meski kontroversial, “Merah Putih: One For All” bisa jadi pelajaran berharga bagi industri film Indonesia.

“Kritik ini seharusnya jadi cambuk, bukan alasan untuk menyerah. Tapi, jangan ulangi kesalahan yang sama.”