Mengapa Kopi Bukanlah Biang Keladi Sulitnya Memiliki Rumah

Setiap kali isu mahalnya harga rumah mencuat di media sosial, selalu muncul komentar klise: “Mau punya rumah? Kurangi jajan kopi kekinian!”

Nasihat finansial simplistis ini menganggap bahwa dengan menghemat Rp25.000 per hari untuk kopi, dalam setahun Anda bisa menabung Rp9 juta. Logika ini terdengar masuk akal—sampai kita melihat realita harga properti saat ini.

Hitungan Nyata yang Tak Pernah Dibahas

Harga rumah sederhana di pinggiran kota besar saat ini minimal Rp300-500 juta. Dengan menabung Rp9 juta/tahun (asumsi tidak ada inflasi atau kenaikan harga rumah), butuh 33 tahun untuk mengumpulkan DP 10%.

Padahal:

  • Harga properti naik 3-5% per tahun (sumber: Bank Indonesia).
  • Kenaikan upah minimum hanya 3-5% per tahun, sering kalah dari inflasi.

Artinya, meski Anda berhenti minum kopi seumur hidup, tetap saja mustahil membeli rumah hanya dengan mengandalkan tabungan—kecuali Anda mau menunggu hingga pensiun.

Akar Masalah yang Sebenarnya

Kopi hanyalah kambing hitam yang menyederhanakan masalah struktural:

  1. Kesenjangan Harga vs. Penghasilan
  • Tahun 2000: Gaji 5 tahun cukup untuk beli rumah.
  • Sekarang: Butuh 15-20 tahun gaji untuk properti serupa.
  1. Spekulasi Properti
  • 40% rumah di Jakarta kosong—dibeli sebagai investasi, bukan hunian (data JLL).
  • Pajak progresif untuk properti kedua+ masih lemah.
  1. Kebijakan yang Tidak Pro-Rakyat
  • Subsidi perumahan hanya mencakup 7% kebutuhan nasional (KemenPUPR).
  • Pembangunan rusunawa sering jauh dari pusat kerja.

Narasi Menyesatkan: “Salahkan Konsumen, Bukan Sistem”

Mengapa “kopi” selalu jadi target? Karena:

  • Mudah dihitung dan dipahami.
  • Mengalihkan pembicaraan dari kegagalan sistem.
  • Menyuburkan mentalitas “Kamu miskin karena tidak disiplin”.

Padahal data menunjukkan:

  • 67% generasi milenial di perkotaan mengontrak karena ketidakmampuan beli rumah (survei Katadata).
  • Di AS dan Inggris, krisis serupa membuat kepemilikan rumah pemuda turun 50% dalam 20 tahun (The Economist).

Solusi yang Tidak Cuma Soal Berhemat

Level Individu:

  • Investasi alternatif: Reksadana, emas, atau crowdfunding properti.
  • Hunian kreatif: Tiny house, co-living space, atau beli tanah dulu.

Level Sistem:

  1. Pajak progresif untuk properti menganggur.
  2. Subsidi DP 0% bagi first home buyer.
  3. Pembangunan masif rusun terjangkau di pusat kota.

Mengubah Cara Pandang

Daripada menyalahkan “kopi”, lebih produktif jika kita menuntut:

  • Upah layak yang sesuai produktivitas.
  • Regulasi properti yang pro-kebutuhan dasar.
  • Transportasi umum memadai agar hunian terjangkau di pinggiran tetap feasible.

Fakta terakhir yang perlu dicerna:
Jika harga kopi naik 100% dalam 10 tahun, harga rumah di Jakarta naik 400% (sumber: BI). Masih mau menyalahkan segelas latte?


#EkonomiSosial #KrisisPerumahan #GenerasiMuda #KebijakanPublik