Royalti Musik di Tempat Usaha: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Tantangan UMKM

Oleh: Ade Yunita Mafruhat
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Bandung | Peneliti Ekonomi Kreatif & Kebijakan UMKM

Suara Hening di Kedai Kopi: Ketika Aturan Royalti Mengubah Suasana Bisnis

Beberapa pekan terakhir, saya menyaksikan fenomena menarik di berbagai kafe dan restoran di Bandung. Suasana yang biasanya ramai oleh alunan musik kini berganti dengan keheningan yang canggung. Hanya terdengar gemerisik piring dan obrolan pengunjung. Perubahan ini bukan tanpa sebab – belakangan, aturan royalti musik untuk tempat usaha komersial menjadi perbincangan hangat, terutama setelah kasus penertiban di Bali viral di media sosial.

Sebagai akademisi yang banyak berinteraksi dengan pelaku UMKM, saya melihat fenomena ini melalui lensa yang lebih luas. Masalahnya tidak sesederhana “mematikan musik” atau “membayar royalti”. Ada kompleksitas ekonomi kreatif yang perlu dipahami secara menyeluruh.

Dilema Regulasi: Perlindungan Hak Cipta vs Realitas Bisnis

Regulasi tentang royalti musik sebenarnya telah jelas diatur dalam:

  • Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  • Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021

Ketentuan ini mewajibkan pembayaran royalti sebesar:
✔ Rp 60.000/kursi/tahun untuk pencipta lagu
✔ Rp 60.000/kursi/tahun untuk hak terkait

Namun dalam praktiknya, implementasi aturan ini menimbulkan beberapa masalah:

  1. Biaya transaksi tinggi – Proses administrasi yang rumit bagi UMKM
  2. Ketidakjelasan mekanisme – Sulitnya melacak pemegang hak cipta
  3. Dampak tidak langsung – Berkurangnya promosi untuk musisi independen

Analisis Biaya Transaksi: Hambatan Tak Terlihat

Berdasarkan teori biaya transaksi (Transaction Cost Theory), ada beberapa hambatan tidak terlihat yang dihadapi pelaku usaha:

Biaya Eksplisit:

  • Pembayaran royalti tahunan
  • Biaya administrasi pendaftaran

Biaya Implisit:

  • Waktu untuk memahami regulasi
  • Usaha melacak pemegang hak cipta
  • Risiko hukum jika terjadi kesalahan administrasi

Bagi usaha kecil dengan modal terbatas, biaya-biaya ini seringkali menjadi beban yang tidak terjangkau.

Dampak Ekosistem: Rantai Efek yang Terabaikan

Fenomena “hening paksa” ini menimbulkan efek domino:

  1. Bagi Pelaku Usaha:
  • Menurunnya pengalaman pelanggan
  • Potensi penurunan omzet akibat berkurangnya durasi kunjungan
  1. Bagi Musisi:
  • Hilangnya saluran promosi alami
  • Keterputusan dengan audiens potensial
  1. Bagi Ekonomi Kreatif:
  • Melemahnya ekosistem musik lokal
  • Berkurangnya interaksi langsung antara musisi dan pendengar

Solusi Berimbang: Perlindungan Hak Cipta yang Ramah UMKM

Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:

1. Sistem Lisensi Terpadu Digital

  • Platform online terintegrasi untuk pembayaran royalti
  • Database lengkap pemegang hak cipta

2. Skema Pembayaran Proporsional

  • Tarif berbeda berdasarkan skala usaha
  • Model pembayaran per putaran (bukan flat rate)

3. Penyediaan Konten Bebas Royalti

  • Kurasi lagu-lagu dengan lisensi kreatif
  • Promosi musisi yang terbuka terhadap pemutaran gratis

4. Edukasi dan Pendampingan

  • Sosialisasi regulasi yang lebih masif
  • Pendampingan hukum bagi UMKM

Menjaga Denyut Ekonomi Kreatif

Sebagai penutup, penting untuk mencari titik temu antara:

  • Perlindungan hak cipta yang adil
  • Kelangsungan usaha UMKM
  • Pengembangan ekosistem musik lokal

Kebijakan yang bijak bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga memahami kompleksitas di lapangan. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa menciptakan lingkungan dimana musisi mendapatkan penghargaan yang layak, pelaku usaha tidak terbebani, dan masyarakat tetap bisa menikmati musik berkualitas di ruang publik.


Penulis aktif meneliti isu ekonomi kreatif dan kebijakan UMKM. Artikel ini merupakan pandangan pribadi berdasarkan pengamatan lapangan dan diskusi dengan pelaku usaha.