Detik-Detik Dramatis Penyusunan Naskah Proklamasi di Rumah Laksamana Maeda

Detik-Detik Dramatis Penyusunan Naskah Proklamasi di Rumah Laksamana Maeda

JENDELA MAGAZINE – Di balik kemerdekaan Indonesia yang kita rayakan setiap 17 Agustus, tersimpan kisah heroik penyusunan naskah Proklamasi yang berlangsung dalam tempo singkat namun penuh ketegangan. Proses bersejarah ini terjadi di kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang di Indonesia, yang kini dikenal sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Malam yang Menentukan Sejarah Bangsa

Menurut Aidil Fitra, edukator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, peristiwa penting ini berlangsung dalam tempo kurang dari 6 jam. “Setelah kembali dari Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 malam, Soekarno, Hatta, dan tokoh lainnya membutuhkan tempat aman untuk merumuskan naskah proklamasi,” jelas Aidil saat berbincang dengan Jendela Magazine.

Rumah bergaya kolonial di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat ini menjadi saksi bisu momen bersejarah tersebut. Yang menarik, meski rumah ini milik seorang perwira Jepang, Maeda memilih tidak campur tangan dengan mengundurkan diri ke lantai dua saat proses perumusan berlangsung.

Proses Kreatif yang Penuh Ketegangan

Pukul 02.00 dini hari tanggal 17 Agustus 1945, tiga tokoh utama – Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo – mulai merumuskan naskah proklamasi di ruang makan rumah Maeda. Setelah melalui diskusi intensif, konsep naskah akhirnya disetujui dan diputuskan hanya akan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta sebagai representasi bangsa.

Fakta menarik terungkap tentang proses pengetikan naskah. “Mesin ketik yang digunakan Sayuti Melik ternyata dipinjam dari kantor militer Jerman di Gambir,” ungkap Aidil. Hal ini terjadi karena mesin ketik Maeda tidak memiliki huruf latin. Satsuki Mishima, asisten rumah tangga Maeda, yang berjasa meminjamkan mesin ketik tersebut.

Fragmen Sejarah yang Diselamatkan

Proses pengetikan tidak berjalan mulus. Sayuti Melik beberapa kali melakukan kesalahan yang meninggalkan coretan di kertas. Beruntung, jurnalis BM Diah yang menyaksikan proses tersebut menyimpan semua draft yang salah itu. “Coretan-coretan itu baru dikembalikan ke museum pada tahun 1992,” tambah Aidil.

Dari Rumah Kolonial ke Museum Bersejarah

Bangunan yang menjadi saksi bisu peristiwa penting ini memiliki sejarah arsitektur yang menarik. Dibangun pada 1927 oleh arsitek Belanda Johan Frederik Lodewijk Blankenberg, gedung ini awalnya milik perusahaan asuransi Jiwasraya. Setelah melalui berbagai pergantian fungsi, akhirnya pada 1992 diresmikan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Yang unik, tata letak interior museum ini direkonstruksi berdasarkan kesaksian Satsuki Mishima, asisten rumah tangga Maeda yang khusus didatangkan dari Jepang. “Koleksi utama museum ini sebenarnya adalah bangunannya sendiri yang menjadi saksi peristiwa bersejarah,” tegas Aidil.

Warisan yang Tetap Hidup

Hingga kini, museum ini tetap mempertahankan atmosfer malam bersejarah tersebut. Ruang-ruang di lantai dasar ditata sesuai alur peristiwa: mulai dari ruang pertemuan, ruang perumusan, ruang pengetikan, hingga ruang pengesahan. Meski sebagian besar furnitur adalah replika, bangunan ini tetap menjadi monumen hidup yang mengingatkan kita pada semangat para pendiri bangsa.

Kisah penyusunan naskah proklamasi ini mengajarkan kita tentang keputusan cepat yang mengubah sejarah, kolaborasi dalam tekanan, dan semangat pantang menyerah yang patut kita teladani hingga kini.